2.Mengapa IHSG mengalami penurunan?
3.Mengapa nilai Rupiah terdepresiasi?
4.Mengapa harga komoditi ekspor turun (sawit, karet, dsb)?
Penyebab Kebankrutan Bank-Bank/Perusahaan Amerika Serikat
Perusahaan-perusahaan raksasa Amerika bertumbangan. Pemerintah terpaksa menyiapkan dana talangan 700 milyar dollar. Semuanya akibat sistem kapitalisme liberal sebagaimana halnya di Indonesia.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Krisis ini bermula dari macetnya kredit perumahan di Amerika karena ternyata para pemilik rumah memang tak mampu membayar cicilan kredit. Kemacetan itu merembet ke mana-mana, terutama menimbulkan krisis keuangan di Amerika, dan kemudian berdampak ke berbagai belahan dunia.
Di Amerika, krisis ini menyebabkan harga rumah turun sampai 16%, angka pengangguran meningkat bersama meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan yang terguncang krisis. Penjualan rumah macet.
Maka berbagai lembaga keuangan raksasa yang bangkrut, seperti disebut di atas, umumnya adalah perusahaan yang terlibat dalam pemberian kredit, penjaminan kredit, dan asuransi kredit perumahan subprime mortgage.
Tapi ketika Maret 2008, The Fed membantu Bear Stearns, bank investasi di Wall Street, 29 milyar dollar, untuk kemudian dikawinkan dengan JP Morgan, banyak pengamat yang meramalkan krisis telah berakhir. Alasannya, meski rendah, toh buktinya ekonomi Amerika masih terus tumbuh.
Sampai 6 bulan kemudian, September 2008, Fanny Mae dan Freddie Mac tersungkur dan harus disuntik 200 milyar dollar. Lalu disusul bankrutnya Lehman Brothers dan sejumlah raksasa lainnya. Oleh karena itu tampaknya sekarang tak ada ahli yang berani meramalkan sampai kapan krisis ini berakhir.
Meski pemerintah akan memborong saham bermasalah itu, seperti ditulis Profesor Paul Krugman, pengajar ekonomi Princeton University di The New York Times, 19 September lalu, “Pertanyaannya, apakah itu dilakukan dengan benar?’’. Yang pasti, krisis ini sudah berlangsung setahun lebih dan Krugman menyebutnya sebagai slo-mo crisis alias krisis dengan gerak lambat (slow motion).
Nouriel Roubini, ekonom dari Stern School of Business, New York University, menunjuk Jepang yang sudah 10 tahun mengalami stagnasi ekonomi, bisa dijadikan contoh untuk menarik banyak pelajaran. Maka kata Roubini, “Kereta api resesi sudah meninggalkan stasiun, tapi ia bisa berjalan satu setengah tahun atau bisa juga lima tahun.’’
Dampak yang ditimbulkannya juga terus menggelembung. Pada Juli 2007, Ketua The Fed, Ben Bernanke, menghitung krisis ini akan menimbulkan kerugian tak sampai 100 milyar dollar. Nyatanya sekarang dibutuhkan dana 700 milyar dollar untuk menjamin kredit macet (bad debt). Beberapa ahli meramalkan jumlah itu akan membengkak menjadi 1 triliun dollar atau lebih.
Apa yang terjadi di Amerika ini menjadi pelajaran berharga. Inilah bukti bahwa sistem kapitalisme laissez-faire yang liberal itu selalu menyebabkan krisis, mulai krisis ekonomi terparah di tahun 1929, sampai krisis lainnya, dan terakhir krisis subprime mortgage ini.
Para ahli sepakat sekarang bahwa krisis ini disebabkan tak adanya regulasi yang mengatur pasar saham Wall Street. Di dalam ideologi kapitalisme liberal, regulasi adalah barang haram. Oleh karena itu mantera yang harus terus diamalkan adalah deregulasi.
Dan itu dilaksanakan di Amerika sejak pemerintahan Presiden Ronald Reagan, di tahun 1980-an. Reagan menggunakan sistem kapitalisme untuk menghadapi sistem ekonomi terpusat dari komunisme, musuh Amerika dan Barat dalam Perang Dingin pada waktu itu.
Di zaman Presiden Clinton, misalnya, regulasi yang sudah ada sejak Great Depression, yang melarang bank komersial memperluas aktivitasnya dalam berbagai kegiatan finansil lain seperti investasi dan asuransi, dideregulasi alias dinyatakan tak berlaku. Apalagi ketika Alan Greenspan menjadi pemimpin The Fed, deregulasi demi deregulasi dilakukan. Sehingga iklim di sekitar pasar keuangan dan modal Amerika memang sangat bebas. Alan Greenspan pun dipuji-puji setinggi langit, termasuk oleh koran-koran utama di Indonesia.
Dalam sistem kredit perumahan, misalnya, kredit diberikan kepada orang di luar kemampuannya. Dan itu banyak sekali terjadi. Maka ketika tiba waktunya, terang saja pembayaran kredit itu macet. Parahnya kredit-kredit macet itu bisa menjadi surat berharga – obligasi, bond, surat utang, dan sebagainya – dengan nilai tinggi. Ia terjual laris-manis ke mana-mana ke seluruh dunia.
Maka dalam editorial 20 September lalu, koran terkemuka Amerika, The New York Times dengan sangat keras mengecam sistem kapitalisme liberal yang ditrapkan pemerintahan Presiden Bush sebagai sumber malapetaka ini. Menurut editorial itu, rakyat Amerika harus diberi tahu kebenaran yang fundamental bahwa krisis yang sekarang menerpa Amerika terjadi sebagai hasil sebuah kesengajaan dan kegagalan sistematik dari pemerintah untuk mengatur dan memonitor aktivitas bankir, kreditor, pengelola dana (hedge funds), asuransi dan pemain pasar lainnya.
Kegagalan pengaturan itu, pada masanya, didasari pada kepercayaan suci dari pemerintahan Bush bahwa pasar dengan tangan silumannya bekerja dengan sangat baik ketika ia dibiarkan sendiri, mengatur dirinya sendiri, mengawasi dirinya sendiri. ‘’Negeri ini sekarang harus membayar mahal harga khayalan itu,’’ tulis editorial tersebut.
Maka berbagai penjaminan, penalangan, yang sekarang dilakukan pemerintah, menurut editorial tersebut, hanya langkah pertama. Setelah itu, yang harus dilakukan adalah bekerja keras untuk membuat regulasi yang dibutuhkan oleh sebuah sistem keuangan yang terpercaya.
Penyebab IHSG Mengalami Penurunan
Pembukaan Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) Kamis (16/10) melemah 76, 49 point atu 5,03% ke posisi 1443, 92. Sedang rupiah berada di kisaran 9.800 per dolar Amerika.
Pengamat Pasar Modal, Irwan Ibrahin pagi ini menyebutkan, penyebab lemahnya IHSG karena masih adanya kekhawatiran investor asing, terutama apabila Grup Bumi Resources (Grup Bakrie) akan dibuka suspensinya minggu depan.
Selain itu harga minyak mentah dunia, CPO timah, nikel maupun harga emas dijelaskan Irwan trendnya turun karena tidak adanya likuiditas lagi di pasar seiring dengan kekhawatiran ancaman resesi global dimana kegiatan ekonomi akan sangat rendah sekali.
Apalagi di Amerika sendiri atau Eropa program bailout belum terlihat ukuran suksesnya, meskipun Presiden Bush rencananya akan mengucurkan dana ke market belum terlihat. Sedangkan di dalam negeri sendiri rencana buy back saham BUMN belum terlihat di market
Apabila Group Bakrie akan buka dimungkinkan posisi tekanan jual akan semakin kencang dan menyeret saham-saham lainnya.
Penurunan IHSG beberapa minggu belakangan ini sudah menunjukkan gejala-gejala yang mengkhawatirkan, Itu disebabkan antara lain :
1. Terjadi Net sell dari investor asing yang besar besaran.
2. Turunnya harga minyak bumi ( komoditas).
3. Banyaknya IPO. Telah menyedot dana dari bursa yang mulai mengering,
4. Agresifnya KPPU, membuat Investor besar ragu masuk ke Pasar Modal.
5. Aturan Tender Offer baru yang dibuat buat (tdk masuk akal) dan berlaku surut telah merugikan banyak pihak dan mendistorsi pasar.
Sebelum situasi Pasar Modal ini mengganggu sektor ekonomi yang lain, seperti Reksadana dll. Diharapkan yang berwenang, dalam hal ini Menkeu agar bersedia menunjukkan perhatiannya.
Penyebab Nilai Rupiah Terdepresiasi
Keinginan pemerintah mengajukan revisi Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009, dinilai sebagai langkah tepat ditengah melemahnya ekonomi dunia akibat pengaruh krisis keuangan AS.
Asumsi RAPBN 2009 memang perlu diubah dan disesuaikan dengan kecenderungan global. Perekonomian dunia akan mengalami perlambatan pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat akibat merosotnya permintaan atau investasi baru. Selain itu, laju inflasi 2009 masih tinggi akibat dampak krisis finansial global. Karena itu, RAPBN harus beradaptasi dengan kecenderungan global itu. Dan krisis finansial global akan menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 6 persen.
Selain itu, nilai tukar rupiah juga akan terdepresiasi terhadap dolar hingga di atas 9.700 per dolar AS, dan inflasi pun akan meningkat. Rupiah akan tetap berada di atas 9.500 karena masih ada gap inflasi 7% antara AS dengan Indonesia sehingga rupiah harus terdepresiasi.
Namun dengan begitu suku bunga acuan BI Rate tidak perlu dinaikkan lagi. BI bisa melakukan penurunan 0,5% pada Oktober, hingga akhir tahun mencapai 9,5%. Tahun 2009, BI Rate bisa mulai diturunkan secara perlahan dan pertumbuhan kredit harus ditekan karena sudah terlampau besar.
Penyebab Harga Komoditi Mengalami Penurunan
Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Indoensia dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Selain itu, harga TBS juga terpengaruh oleh turunnya harga minyak dunia.
Karena krisis itu, terjadi likuiditas (peredaran uang kontan semakin ketat). Akibatnya, permintaan menurun dan tentu berakibat pembelian juga menurun. Dan eksport TBS Indonesia terjadi pengurangan (walau tidak terlalu tajam). Ini kemudian berimbas kepada petani.
Amerika Serikat sendiri sedang berada di ambang kehancuran financial sebagai imbas dari krisis ekonomi. Ini terjadi karena banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa Asuransi AIG, sahamnya turun hingga 50 persen.
Nah, efek dari krisis ekonomi dan finansial di USA telah merambat ke negara-negara di Asia dan Eropa. Banyak negara yang memberikan suntikan dana kepada lembaga keuangan supaya tidak tergerus arus krisis ekonomi yang berasal dari Amerika Serikat.
Jadi langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah yaitu memberikan kredit lunak kepada petani sawit, atau memberikan pupuk gratis, atau mensubsidi petani. Pokoknya pemerintah harus memikirkan langkah-langkah yang tepat.
Disusun Oleh : Aditya Riezkan
(Dari berbagai sumber)
Perusahaan-perusahaan raksasa Amerika bertumbangan. Pemerintah terpaksa menyiapkan dana talangan 700 milyar dollar. Semuanya akibat sistem kapitalisme liberal sebagaimana halnya di Indonesia.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Krisis ini bermula dari macetnya kredit perumahan di Amerika karena ternyata para pemilik rumah memang tak mampu membayar cicilan kredit. Kemacetan itu merembet ke mana-mana, terutama menimbulkan krisis keuangan di Amerika, dan kemudian berdampak ke berbagai belahan dunia.
Di Amerika, krisis ini menyebabkan harga rumah turun sampai 16%, angka pengangguran meningkat bersama meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan yang terguncang krisis. Penjualan rumah macet.
Maka berbagai lembaga keuangan raksasa yang bangkrut, seperti disebut di atas, umumnya adalah perusahaan yang terlibat dalam pemberian kredit, penjaminan kredit, dan asuransi kredit perumahan subprime mortgage.
Tapi ketika Maret 2008, The Fed membantu Bear Stearns, bank investasi di Wall Street, 29 milyar dollar, untuk kemudian dikawinkan dengan JP Morgan, banyak pengamat yang meramalkan krisis telah berakhir. Alasannya, meski rendah, toh buktinya ekonomi Amerika masih terus tumbuh.
Sampai 6 bulan kemudian, September 2008, Fanny Mae dan Freddie Mac tersungkur dan harus disuntik 200 milyar dollar. Lalu disusul bankrutnya Lehman Brothers dan sejumlah raksasa lainnya. Oleh karena itu tampaknya sekarang tak ada ahli yang berani meramalkan sampai kapan krisis ini berakhir.
Meski pemerintah akan memborong saham bermasalah itu, seperti ditulis Profesor Paul Krugman, pengajar ekonomi Princeton University di The New York Times, 19 September lalu, “Pertanyaannya, apakah itu dilakukan dengan benar?’’. Yang pasti, krisis ini sudah berlangsung setahun lebih dan Krugman menyebutnya sebagai slo-mo crisis alias krisis dengan gerak lambat (slow motion).
Nouriel Roubini, ekonom dari Stern School of Business, New York University, menunjuk Jepang yang sudah 10 tahun mengalami stagnasi ekonomi, bisa dijadikan contoh untuk menarik banyak pelajaran. Maka kata Roubini, “Kereta api resesi sudah meninggalkan stasiun, tapi ia bisa berjalan satu setengah tahun atau bisa juga lima tahun.’’
Dampak yang ditimbulkannya juga terus menggelembung. Pada Juli 2007, Ketua The Fed, Ben Bernanke, menghitung krisis ini akan menimbulkan kerugian tak sampai 100 milyar dollar. Nyatanya sekarang dibutuhkan dana 700 milyar dollar untuk menjamin kredit macet (bad debt). Beberapa ahli meramalkan jumlah itu akan membengkak menjadi 1 triliun dollar atau lebih.
Apa yang terjadi di Amerika ini menjadi pelajaran berharga. Inilah bukti bahwa sistem kapitalisme laissez-faire yang liberal itu selalu menyebabkan krisis, mulai krisis ekonomi terparah di tahun 1929, sampai krisis lainnya, dan terakhir krisis subprime mortgage ini.
Para ahli sepakat sekarang bahwa krisis ini disebabkan tak adanya regulasi yang mengatur pasar saham Wall Street. Di dalam ideologi kapitalisme liberal, regulasi adalah barang haram. Oleh karena itu mantera yang harus terus diamalkan adalah deregulasi.
Dan itu dilaksanakan di Amerika sejak pemerintahan Presiden Ronald Reagan, di tahun 1980-an. Reagan menggunakan sistem kapitalisme untuk menghadapi sistem ekonomi terpusat dari komunisme, musuh Amerika dan Barat dalam Perang Dingin pada waktu itu.
Di zaman Presiden Clinton, misalnya, regulasi yang sudah ada sejak Great Depression, yang melarang bank komersial memperluas aktivitasnya dalam berbagai kegiatan finansil lain seperti investasi dan asuransi, dideregulasi alias dinyatakan tak berlaku. Apalagi ketika Alan Greenspan menjadi pemimpin The Fed, deregulasi demi deregulasi dilakukan. Sehingga iklim di sekitar pasar keuangan dan modal Amerika memang sangat bebas. Alan Greenspan pun dipuji-puji setinggi langit, termasuk oleh koran-koran utama di Indonesia.
Dalam sistem kredit perumahan, misalnya, kredit diberikan kepada orang di luar kemampuannya. Dan itu banyak sekali terjadi. Maka ketika tiba waktunya, terang saja pembayaran kredit itu macet. Parahnya kredit-kredit macet itu bisa menjadi surat berharga – obligasi, bond, surat utang, dan sebagainya – dengan nilai tinggi. Ia terjual laris-manis ke mana-mana ke seluruh dunia.
Maka dalam editorial 20 September lalu, koran terkemuka Amerika, The New York Times dengan sangat keras mengecam sistem kapitalisme liberal yang ditrapkan pemerintahan Presiden Bush sebagai sumber malapetaka ini. Menurut editorial itu, rakyat Amerika harus diberi tahu kebenaran yang fundamental bahwa krisis yang sekarang menerpa Amerika terjadi sebagai hasil sebuah kesengajaan dan kegagalan sistematik dari pemerintah untuk mengatur dan memonitor aktivitas bankir, kreditor, pengelola dana (hedge funds), asuransi dan pemain pasar lainnya.
Kegagalan pengaturan itu, pada masanya, didasari pada kepercayaan suci dari pemerintahan Bush bahwa pasar dengan tangan silumannya bekerja dengan sangat baik ketika ia dibiarkan sendiri, mengatur dirinya sendiri, mengawasi dirinya sendiri. ‘’Negeri ini sekarang harus membayar mahal harga khayalan itu,’’ tulis editorial tersebut.
Maka berbagai penjaminan, penalangan, yang sekarang dilakukan pemerintah, menurut editorial tersebut, hanya langkah pertama. Setelah itu, yang harus dilakukan adalah bekerja keras untuk membuat regulasi yang dibutuhkan oleh sebuah sistem keuangan yang terpercaya.
Penyebab IHSG Mengalami Penurunan
Pembukaan Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) Kamis (16/10) melemah 76, 49 point atu 5,03% ke posisi 1443, 92. Sedang rupiah berada di kisaran 9.800 per dolar Amerika.
Pengamat Pasar Modal, Irwan Ibrahin pagi ini menyebutkan, penyebab lemahnya IHSG karena masih adanya kekhawatiran investor asing, terutama apabila Grup Bumi Resources (Grup Bakrie) akan dibuka suspensinya minggu depan.
Selain itu harga minyak mentah dunia, CPO timah, nikel maupun harga emas dijelaskan Irwan trendnya turun karena tidak adanya likuiditas lagi di pasar seiring dengan kekhawatiran ancaman resesi global dimana kegiatan ekonomi akan sangat rendah sekali.
Apalagi di Amerika sendiri atau Eropa program bailout belum terlihat ukuran suksesnya, meskipun Presiden Bush rencananya akan mengucurkan dana ke market belum terlihat. Sedangkan di dalam negeri sendiri rencana buy back saham BUMN belum terlihat di market
Apabila Group Bakrie akan buka dimungkinkan posisi tekanan jual akan semakin kencang dan menyeret saham-saham lainnya.
Penurunan IHSG beberapa minggu belakangan ini sudah menunjukkan gejala-gejala yang mengkhawatirkan, Itu disebabkan antara lain :
1. Terjadi Net sell dari investor asing yang besar besaran.
2. Turunnya harga minyak bumi ( komoditas).
3. Banyaknya IPO. Telah menyedot dana dari bursa yang mulai mengering,
4. Agresifnya KPPU, membuat Investor besar ragu masuk ke Pasar Modal.
5. Aturan Tender Offer baru yang dibuat buat (tdk masuk akal) dan berlaku surut telah merugikan banyak pihak dan mendistorsi pasar.
Sebelum situasi Pasar Modal ini mengganggu sektor ekonomi yang lain, seperti Reksadana dll. Diharapkan yang berwenang, dalam hal ini Menkeu agar bersedia menunjukkan perhatiannya.
Penyebab Nilai Rupiah Terdepresiasi
Keinginan pemerintah mengajukan revisi Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009, dinilai sebagai langkah tepat ditengah melemahnya ekonomi dunia akibat pengaruh krisis keuangan AS.
Asumsi RAPBN 2009 memang perlu diubah dan disesuaikan dengan kecenderungan global. Perekonomian dunia akan mengalami perlambatan pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat akibat merosotnya permintaan atau investasi baru. Selain itu, laju inflasi 2009 masih tinggi akibat dampak krisis finansial global. Karena itu, RAPBN harus beradaptasi dengan kecenderungan global itu. Dan krisis finansial global akan menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 6 persen.
Selain itu, nilai tukar rupiah juga akan terdepresiasi terhadap dolar hingga di atas 9.700 per dolar AS, dan inflasi pun akan meningkat. Rupiah akan tetap berada di atas 9.500 karena masih ada gap inflasi 7% antara AS dengan Indonesia sehingga rupiah harus terdepresiasi.
Namun dengan begitu suku bunga acuan BI Rate tidak perlu dinaikkan lagi. BI bisa melakukan penurunan 0,5% pada Oktober, hingga akhir tahun mencapai 9,5%. Tahun 2009, BI Rate bisa mulai diturunkan secara perlahan dan pertumbuhan kredit harus ditekan karena sudah terlampau besar.
Penyebab Harga Komoditi Mengalami Penurunan
Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Indoensia dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Selain itu, harga TBS juga terpengaruh oleh turunnya harga minyak dunia.
Karena krisis itu, terjadi likuiditas (peredaran uang kontan semakin ketat). Akibatnya, permintaan menurun dan tentu berakibat pembelian juga menurun. Dan eksport TBS Indonesia terjadi pengurangan (walau tidak terlalu tajam). Ini kemudian berimbas kepada petani.
Amerika Serikat sendiri sedang berada di ambang kehancuran financial sebagai imbas dari krisis ekonomi. Ini terjadi karena banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa Asuransi AIG, sahamnya turun hingga 50 persen.
Nah, efek dari krisis ekonomi dan finansial di USA telah merambat ke negara-negara di Asia dan Eropa. Banyak negara yang memberikan suntikan dana kepada lembaga keuangan supaya tidak tergerus arus krisis ekonomi yang berasal dari Amerika Serikat.
Jadi langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah yaitu memberikan kredit lunak kepada petani sawit, atau memberikan pupuk gratis, atau mensubsidi petani. Pokoknya pemerintah harus memikirkan langkah-langkah yang tepat.
Disusun Oleh : Aditya Riezkan
(Dari berbagai sumber)
1 komentar:
Untungnya pangan Indonesia masih mencukupi, cadangan beras baik, pemerintahan SBY stabil, ga ada bencana alam. kalo ga bisa jadi kaya 98 ni,
keep growing Indonesian's economy
keep posting,semangat
Posting Komentar