Sesudah putus asa karena menghalangi Nabi Muhammad dengan cara kekerasan ternyata tidak menggentarkan Rasulullah saw dan para pengikutnya, Abu Jahal lalu mendatangi Abu Thalib, paman dan pelindung Rasulullah. Abu Jahal meminta agar disampaikan kepada Muhammad bahwa ia akan memberikan apa saja yang dikehendaki Muhammad; gadis-gadis yang paling cantik, harta kekayaan yang melimpah, atau kedudukan terhormat dalam jajaran kepemimpinan bangsa Arab. Abu Thalib segera menyampaikan tawaran Abu Jahal dan suku Quraisy itu kepada Nabi saw.
Dengan tegar Nabi mengatakan, “Demi Allah, wahai pamanku. Andaikata diletakan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku, supaya saya menggagalkan perjuangan menegakan kebenaran, saya takkan surut, sampai tercapai kemenangan atau saya hancur binasa dalam perjuangan.” Itilah benih kegigihan dan ketangguhan Rasulullah semenjak awal perjuangan. Ternyata sifat beliau tidak berubah walaupun sudah berhasil menjadi pemimpin umat yang agung dan disegani.
Pada suatu malam terdengar ribut-ribut diluar kota Madinah. Para sahabat mengira musuh sedang bergerak hendak menyerang kota. Waktu itu Nabi saw sedang tidur. Jadi para sahabat sepakat untuk tidak memebritahukan Rasulullah sebab mereka tahu Nabi amat lelah. Mereka segera memberangkatkan sepasukan tentara menuju ke arah terjadinya ribut-ribut itu. Di tengah perjalanan, sebelum tiba ke tempat itu mereka berpapasan denga Rasulullah yang sedang mengendarai kuda hendak kembali ke Madinah. Di pinggangnya terselempang sebilah pedang.
Nabi berkata, “Wahai para sahabatku yang setia. Pulang sajalah kita ke Madinah. Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada musuh. Aman belaka. Yang ribut-ribut tadi hanya suara kuda yang kedinginan.” Alangkah malunya para sahabat. Ternyata mereka kalah tanggap dan kalah cekatan dibandingkan Rasulullah saw yang disangka masih tertidur lelap di pembaringan.
Dalam suatu peperangan, Nabi terlau capai sampai lengah, beliau terduduk di bawah sebatang pohon tanpa sebilah senjata pun. Seorang pendekar kaum musyirikin yang ditakuti, tiba-tiba muncul di hadapannya, berdiri berkacak pinggang pada saat Nabi terkantuk-kantuk.
Dengan suara lantang, dedengkot musuh yang bernama Da’tsur itu menghardik Rasulullah sambil mengacungkan pedangnya, “Hai Muhammad. Siapa sekarang yang dapat menyelamatkanmu dari keganasan pedangku?”
Nabi tersentak sekejab, lalu menatap mata Da’tsur lurus matanya. Da’tsur tergetar melihat pandangan yang yang sejuk tetapi tidak kenal takut itu. Nabi menjawab tenang, “Karena sebagai manusia, aku sudah tidak punya daya, tiada lagi yang akan melindungi diriku kecuali Allah?”
Da’tsur menggigil mendengar jawaban itu. Macam apa pula kekuatan Allah yang disebut-sebut Muhammad itu, sampai ia yakin Allah pasti melindunginya? Kebimbangannya kian bertambah menyaksikan Nabi tetap tabah, sampai akhirnya pedang Da’tsur terlepas dari genggamannya dan jatuh.
Nabi segera mengambil pedang itu lantas mengacungkannya kepada Da’tsur, “Nah, kini siapakah yang akan menyelamatkanmu dari prdangku?” Dengan bibir bergetar Da’tsur menjawab, “Hanya engkau Muhammad yang dapat menyelamatkanku. Sungguh, hanya engkau belaka.”
Namun Nabi bukanlah tipe pemimpin yang suka menyimpan dendam. Beliau tidak ingin membelas kekerasan dengan kekerasan. Maka beliau segera menyerahkan pedang itu kembali pada Da’tsur selaku pemiliknya. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, kelak Da’tsur masuk Islam, danmenjadi pahlawan membela agama.
(Sumber : Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta.)
Dengan tegar Nabi mengatakan, “Demi Allah, wahai pamanku. Andaikata diletakan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku, supaya saya menggagalkan perjuangan menegakan kebenaran, saya takkan surut, sampai tercapai kemenangan atau saya hancur binasa dalam perjuangan.” Itilah benih kegigihan dan ketangguhan Rasulullah semenjak awal perjuangan. Ternyata sifat beliau tidak berubah walaupun sudah berhasil menjadi pemimpin umat yang agung dan disegani.
Pada suatu malam terdengar ribut-ribut diluar kota Madinah. Para sahabat mengira musuh sedang bergerak hendak menyerang kota. Waktu itu Nabi saw sedang tidur. Jadi para sahabat sepakat untuk tidak memebritahukan Rasulullah sebab mereka tahu Nabi amat lelah. Mereka segera memberangkatkan sepasukan tentara menuju ke arah terjadinya ribut-ribut itu. Di tengah perjalanan, sebelum tiba ke tempat itu mereka berpapasan denga Rasulullah yang sedang mengendarai kuda hendak kembali ke Madinah. Di pinggangnya terselempang sebilah pedang.
Nabi berkata, “Wahai para sahabatku yang setia. Pulang sajalah kita ke Madinah. Tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada musuh. Aman belaka. Yang ribut-ribut tadi hanya suara kuda yang kedinginan.” Alangkah malunya para sahabat. Ternyata mereka kalah tanggap dan kalah cekatan dibandingkan Rasulullah saw yang disangka masih tertidur lelap di pembaringan.
Dalam suatu peperangan, Nabi terlau capai sampai lengah, beliau terduduk di bawah sebatang pohon tanpa sebilah senjata pun. Seorang pendekar kaum musyirikin yang ditakuti, tiba-tiba muncul di hadapannya, berdiri berkacak pinggang pada saat Nabi terkantuk-kantuk.
Dengan suara lantang, dedengkot musuh yang bernama Da’tsur itu menghardik Rasulullah sambil mengacungkan pedangnya, “Hai Muhammad. Siapa sekarang yang dapat menyelamatkanmu dari keganasan pedangku?”
Nabi tersentak sekejab, lalu menatap mata Da’tsur lurus matanya. Da’tsur tergetar melihat pandangan yang yang sejuk tetapi tidak kenal takut itu. Nabi menjawab tenang, “Karena sebagai manusia, aku sudah tidak punya daya, tiada lagi yang akan melindungi diriku kecuali Allah?”
Da’tsur menggigil mendengar jawaban itu. Macam apa pula kekuatan Allah yang disebut-sebut Muhammad itu, sampai ia yakin Allah pasti melindunginya? Kebimbangannya kian bertambah menyaksikan Nabi tetap tabah, sampai akhirnya pedang Da’tsur terlepas dari genggamannya dan jatuh.
Nabi segera mengambil pedang itu lantas mengacungkannya kepada Da’tsur, “Nah, kini siapakah yang akan menyelamatkanmu dari prdangku?” Dengan bibir bergetar Da’tsur menjawab, “Hanya engkau Muhammad yang dapat menyelamatkanku. Sungguh, hanya engkau belaka.”
Namun Nabi bukanlah tipe pemimpin yang suka menyimpan dendam. Beliau tidak ingin membelas kekerasan dengan kekerasan. Maka beliau segera menyerahkan pedang itu kembali pada Da’tsur selaku pemiliknya. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, kelak Da’tsur masuk Islam, danmenjadi pahlawan membela agama.
(Sumber : Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar