Abdullah bin Ubay tercatat sebagai gembong munafik generasi pertama. Secara lisan dia memproklamirkan diri sebagai penganut Islam, tapi secara batin ia amat beci dan memusuhi Islam. Kebencian Abdullah bin Ubay kepada Nabi Muhammad saw berakar dair faktor dendam.
Sebelum Nabi hijrah, suku Khazraj dan Aus sebenarnya telah sepakat menjadikan ibn Ubay sebagai penguasa Madinah, bahkan telah sempat dpersiapkan mahkota ibn Ubay segala. Namun, dengan muncumnya ‘bintang terang Islam’, kedudukan Abdulah bin Ubay berubah drastic. Harapan menjadi raja tak jadi kenyataan, bahkan orang meningglakannya, tak memperdulikannya. Oleh karenanya, Nabi saw dianggap sebagai biang keladi keterpurukan nasibnya.
Dendam merasuk dalam hatinya. Berbagai upaya pecah belah dalam Islam telah ibn Ubay lancarkan, dan berbagai fitnah keji telah dilakukan. Bahkan akibat gemasterhadap sepak terjang kemunafikan ibn Ubay, Umar bin Khattab sempat minta ijin kepada Nabi untuk melibasnya. Namun apa kata Nabi? “Tak layak melakukan itu, karena orang akan berkata, Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri.”
Melihat sikap lunak Nabi, maka perang Bani Mustaliq, Abdullah bin Ubay kembali melakukan politik adu domba alias devide et impera. Hampir saja antara kaum Muhajirin dan Anshor muncul saling ketidakpercayaan. Melihat pengaruh buruk hasil rekayasa ibn Ubay, dapat dipahami jiak sempat muncul isu Nabi Muhammad akan menghukum mati sang munafik ini.
Demi mendengar isu santer tadi, anak ibn Ubay (yang saleh beragama) segera menemui Nabi Muhamad saw. Anak saleh keturunan dari bapak yang munafi ini, buakn ingin meminta maaf untuk sang ayah. Ia tahu betul bahwa ayahnya memang dedengkot munafik, dan layak mendapatkan hukuman. Hanya saja, kepada Nabi ia meminta, “Wahai Rasul, jika diputuskan bahwa ayah harus dihukum mati, saya mohon biarlah saya sendiri yang menjalankan eksekusi. Karene bila orang lain yang menjalankan, saya khawatir berdasarkan emosi kesukuan orang Arab dan sentimen keterikatan bapak anak, akan memunculkan dendam dihati. Bial hal itu terjadi, sangat mungkin dapat mendorong saya melakukan balas dendam ang menyebabkan hidup saya sia-sia.” Mendengar permintaan dari anak saleh itu, Nabi Muhammad saw tersenyum sembari menjawab, “Tak ada niat saya seperti itu. Saya akan berlaku lunak kepadanya.”
Sikap agung tadi ternyata menumbuhkan simpati atas keluhuran budi Nabi Muhammad saw. Sebaliknya, pada saat yang sama, celaan, cemoohan, dan cercaan makin gencar menimpa Abdullah bin Ubay, tokoh munafik kelas wahid ini. Ia menjadisedemikian hina di mata umat Islam, sehingga tak seorang pun peduli kepadanya. Sehubungan dengan fakta ini, akhirnya Nabi bicara kepada sahabatnya, Umar bin Khattab, “Anda pernah minta izin kepada saya untuk membunuhnya. Orang yang paling terpukul dila kala itu ia dibunuh, bahkan mungkin membelanya, pada hari itu justru telah menghinanya. Bahkan, bila saya memberi perintah aagr mereka membunuh ibn Ubay, niscaya mereka akan membunuh sekarang juga.”
(Sumber : Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta.)
Sebelum Nabi hijrah, suku Khazraj dan Aus sebenarnya telah sepakat menjadikan ibn Ubay sebagai penguasa Madinah, bahkan telah sempat dpersiapkan mahkota ibn Ubay segala. Namun, dengan muncumnya ‘bintang terang Islam’, kedudukan Abdulah bin Ubay berubah drastic. Harapan menjadi raja tak jadi kenyataan, bahkan orang meningglakannya, tak memperdulikannya. Oleh karenanya, Nabi saw dianggap sebagai biang keladi keterpurukan nasibnya.
Dendam merasuk dalam hatinya. Berbagai upaya pecah belah dalam Islam telah ibn Ubay lancarkan, dan berbagai fitnah keji telah dilakukan. Bahkan akibat gemasterhadap sepak terjang kemunafikan ibn Ubay, Umar bin Khattab sempat minta ijin kepada Nabi untuk melibasnya. Namun apa kata Nabi? “Tak layak melakukan itu, karena orang akan berkata, Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri.”
Melihat sikap lunak Nabi, maka perang Bani Mustaliq, Abdullah bin Ubay kembali melakukan politik adu domba alias devide et impera. Hampir saja antara kaum Muhajirin dan Anshor muncul saling ketidakpercayaan. Melihat pengaruh buruk hasil rekayasa ibn Ubay, dapat dipahami jiak sempat muncul isu Nabi Muhammad akan menghukum mati sang munafik ini.
Demi mendengar isu santer tadi, anak ibn Ubay (yang saleh beragama) segera menemui Nabi Muhamad saw. Anak saleh keturunan dari bapak yang munafi ini, buakn ingin meminta maaf untuk sang ayah. Ia tahu betul bahwa ayahnya memang dedengkot munafik, dan layak mendapatkan hukuman. Hanya saja, kepada Nabi ia meminta, “Wahai Rasul, jika diputuskan bahwa ayah harus dihukum mati, saya mohon biarlah saya sendiri yang menjalankan eksekusi. Karene bila orang lain yang menjalankan, saya khawatir berdasarkan emosi kesukuan orang Arab dan sentimen keterikatan bapak anak, akan memunculkan dendam dihati. Bial hal itu terjadi, sangat mungkin dapat mendorong saya melakukan balas dendam ang menyebabkan hidup saya sia-sia.” Mendengar permintaan dari anak saleh itu, Nabi Muhammad saw tersenyum sembari menjawab, “Tak ada niat saya seperti itu. Saya akan berlaku lunak kepadanya.”
Sikap agung tadi ternyata menumbuhkan simpati atas keluhuran budi Nabi Muhammad saw. Sebaliknya, pada saat yang sama, celaan, cemoohan, dan cercaan makin gencar menimpa Abdullah bin Ubay, tokoh munafik kelas wahid ini. Ia menjadisedemikian hina di mata umat Islam, sehingga tak seorang pun peduli kepadanya. Sehubungan dengan fakta ini, akhirnya Nabi bicara kepada sahabatnya, Umar bin Khattab, “Anda pernah minta izin kepada saya untuk membunuhnya. Orang yang paling terpukul dila kala itu ia dibunuh, bahkan mungkin membelanya, pada hari itu justru telah menghinanya. Bahkan, bila saya memberi perintah aagr mereka membunuh ibn Ubay, niscaya mereka akan membunuh sekarang juga.”
(Sumber : Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar